“Sungguh awalnya aku tidak percaya denganmu. Tapi, dalam situasi yang mendesak dan gawat, aku rela hati mengambil resiko besar dan membuang jauh keraguanku demi untuk menyelamatkanmu. Tapi, jika kamu membalasnya dengan membunuhku, maka aku tidak lagi bisa berbuat banyak. Kamu telah menguasai tubuhku dengan masuk ke dalam mulutku ini.” Kata Kakek pasrah dengan penuh penyesalan dan kekecewaan. Ular pun hanya menertawakan kebodohan kakek yang berbuat terlalu baik kepada musuhnya.
Lalu, kakek melanjutkan perkataannya. “Baiklah jika kamu memang benar ingin memangsaku. Aku sungguh telah berpasrah diri kepada Tuhanku. Namun, aku ada satu permintaan kepadamu wahai ular.” Pinta kakek. “Apa permintaan terakhirmu wahai Kakek yang sebentar lagi akan jadi mangsaku?” tanya ular semena-mena.
Sungguh kakek benar-benar heran dengan si ular. Namun apa daya, sang kakek tidak punya pilihan lain. Maka, kakek pun meminta kepada si ular untuk membiarkannya pergi menjauh dari tempatnya saat ini, sebelum akhirnya si ular menggigit organnya. “Sungguh biarkan aku berjalan menuju pohon itu. Akhiri aku di sana, agar tidak ada orang yang tahu bagaimana kesakitan yang nanti akan kualami saat tubuhku perlahan kau mangsa.” Kata sang kakek.
Ular menuruti permintaan Kakek. Dalam hati kakek, sungguh ia masih tetap berusaha untuk tidak menyerah begitu saja kepada ular. Ia berharap didalam hatinya, agar Tuhan membantunya. Misalnya ada seseorang yang bisa mengeluarkan ular pengkhianat ini dari dalam tubuhnya. Akhirnya, kakek pun telah sampai di bawah pohon rindang yang ia tuju. “Aku telah sampai. Aku sudah pasrah. Silahkan laksanakan rencanamu.” Kata Kakek kepada ular.
Tiba-tiba angin semilir datang dengan membawa suara tanpa jejak. Suara itu berbisik, dan mengalun merdu di kupingnya. “Wahai Kakek yang baik hatinya, tulus untuk menolong. Ketulusan dan niat baik hatimu malah menyebabkan musuhmu masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya. “Lihatlah pohon ini! Ambil sehelai daunnya untuk kamu makan. Semoga Tuhan menyelamatkanku dari bahaya ini.”
Suara itu pun menghilang tiba-tiba. Kakek sangat berdebar jantungnya dengan peristiwa ini. Maka, ia segera memetik sehelai daun untuk dimakannya. Hingga, tak lama kemudian, ia merasa sangat mual dan ingin muntah. Bersamaan dengan itu, si ular keluar dari dalam mulutnya dalam wujud bangkai. Atas peristiwa ini, Kakek sangat bersyukur karena ia telah selamat dari bahaya musuhnya yang hampir saja merenggut nyawanya. Sebagai wujud syukur nya, sang Kakek pun sujud syukur di bawah pohon rindang. Kakek sangat yakin bahwa ini adalah pertolongan dari Tuhannya. Kakek semakin yakin dengan adanya Tuhan yang wujudnya tidak bisa ia jangkau dengan inderaya, akan tetapi kehadirannya selalu ada dalam setiap hembus napasnya.
Kakek pun menitihkan air mata atas kuasa Tuhan ini. Ia lihat bagaimana ular yang telah menjadi bangkai itu di bawah kakinya. Kakek menatap si ular dengan haru. Kemudian, kakek mencari kayu untuk menggali tanah tepat di bawah pohon yang rindang itu. Maka, kakek membuat lubang untuk mengubur si ular. Lalu kakek berkata pada ular yang telah ia kubur. “Aku tidak tahu apa maksud kedatanganmu kepadaku. Apakah engkau benar-benar ular yang seperti aku ketahui selama ini. Sungguh, saat engkau masuk ke dalam mulutku tadi, sedikit pun aku tidak merasakan kesakitan. Aku pun sebelumnya tidak bisa berbicara dengan hewan sebelum ini. Tapi entah mengapa aku merasa, mendengar jelas bagaimana engkau berbicara.”