blog post.jpg
SHARE THIS POST

Download Aplikasi Ngedongeng di



Jalan yang sulit, antara jalan setapak dan jalur air, menuruni sisi gunung melalui rumpun pohon ek yang selalu hijau, dan mencapai titik Dataran Yizreel, di mana jalan dari Samaria dan selatan terbagi menjadi dua, jalan utamanya masih mendaki ke utara menuju Nazareth, sementara cabangnya membelok ke timur dan ke selatan melintasi dataran yang subur, menuju jalan Carmel di Megiddo.

Seorang lelaki tua turun dari jalur gunung dengan kesakitan. Dia mengenakan pakaian coklat dari rambut unta, dengan sabuk kulit yang dipasang tinggi di sekitar kaki telanjangnya. Dia membawa tongkat, mengetuk tanah dengan hati-hati sebelum menginjakkan kakinya. Saat itu adalah waktu panen barli, di mana saat matahari begitu terik. Jalan menuju Megiddo bersinar dan seakan-akan bergetar karena panas. Tapi lelaki itu tidak bisa melihatnya. Katarak menutupi matanya dan mengaburkan seluruh pandangannya.

Perjalanannya sekarang melingkar di sekitar kaki bukit yang dipisahkan oleh lereng tajam di sebelah kanannya dan sebelahnya lagi jurang berbatu. Sekali atau dua kali dia berhenti di tepinya dan mengintip ke bawah. Dia mencondongkan tubuh ke depan untuk mengintip lagi, tetapi tiba-tiba menegakkan tubuhnya dan mendengarkan.

Jauh di bawah lembah, terdengar suara lolongan anjing. Tapi telinga lelaki tua itu menangkap suara lain, yang datang dari jalan di depannya.

blog post.jpg

Download Aplikasi Ngedongeng di



Cling... cling... clink! Cling... clink!


Itu adalah suara batu yang dipukul dengan palu.

Cling... cling... clink!

Dia melangkah maju dengan cepat, mengitari sebuah batu. Dia mendapati dirinya berhadapan langsung dengan seorang pria, seperti yang dia bisa lihat, seorang pria jangkung, berdiri tegak di dekat tumpukan batu di bagian kiri jalan setapak.

“Semoga kau baik-baik saja. Anakku, dan bagi setiap orang yang memperbaiki jalan bagi pengelana. Tapi katakan padaku jika jalan di sini tidak aman? Karena mataku sangat redup, dan sudah bertahun-tahun lalu sejak terakhir aku datang melewati bukit ke Shunem.”

Pria itu tidak menjawab.

“Telah bertahun-tahun. Dulu di sini aku bisa melihat Syunem atau dinding-dinding putihnya di antara pohon ek. Tapi aku tak melihatnya lagi, karena pohon Ek telah tumbuh tinggi.”

Masih belum ada jawaban. Lelaki tua itu kembali melanjutkan.

"Aku seorang yang buta. Namun, mungkin kau bisa melihatku.”

Saat lelaki tua itu berhenti bicara, sosok lain -seorang wanita- keluar. Seperti yang terlihat olehnya, dari belakang pria itu, melangkah maju dan menyentuh lengannya.

“Salam. Saya Elisa, putra Syafat.”

blog post.jpg

“Engkau paling tahu...”

“Siapa yang lebih baik dari Miriam asal Syunem? Coba perhatikan.”

“Mataku sangat redup.”

“Dan pohon Ek lebih tinggi dari Syunem. Wajahku telah berubah, begitu juga suaraku.”

“Saya merasa aneh. Setelah saya datang, saya menghitung setiap tahun-tahun berikutnya.”

“Kami mungkin tidak mengeluh. Dan anakmu, bagaimana kabarnya?”

“Itu dia, di belakang kita. Dia adalah anak yang baik, dan membiarkan orang yang lebih tua untuk berbicara lebih dahulu. Jika kita duduk sebentar dan berbicara, dia akan menunggu kita.”

“Lalu rumah dan peternakanmu?”

blog post.jpg

Download Aplikasi Ngedongeng di



Wanita itu melirik ke arah lembah, dan menjawab dengan cepat.

“Tuanku, bisakah kita tidak duduk sebentar? Jalam ini terlihat dari arah dataran. Duduklah, dan lewat mataku engkau akan melihat kembali Kota Carmel yang jauh dan ladang yang dulu menyenangkan bagimu.”

Lelaki tua itu seolah-olah ingin duduk di salah satu batu yang lebih besar di tepi tumpukan. Tapi dia mencegahnya dengan cepat. Pergi sejenak dan kembali, menyisihkan batu besar yang tertutup lumut di sebelah kanan jalan setapak. Lelaki tua itu duduk di atas batu, dan si wanita duduk di dekat kakinya.

"Dahulu. dari sini aku bisa melihatmu turun gunung. Pada saat aku dijanjikan akan diberi seorang putra.”

Dia mengangguk.

“Kami tinggal di Syunem, bersama orang-orang kami sendiri.”

“Tidak ada tempat yang lebih hijau di Israel.”

“Di tempat hijau anak-anak suka bermain. Oleh karena itu anak ini telah dijanjikan kepadamu.”

“Namun setahun sekali dataran itu berubah jadi kuning. itu adalah musim panen barli ini. Di hari seperti inilah anakku jatuh ke ladang. di antara para penuai. Lalu ayahnya membawanya masuk dan membaringkannya di atas lututku. Pada hari seperti ini aku membiarkannya mati. Lihatlah jalan putih yang berkelok-kelok, dan jurang biru panjang di sana, di tepi laut. Lambat laun, ketika matahari terbenam di atasnya, lembah biru dan pohon Ek di bawahnya akan berubah menjadi satu warna gelap. Dan itulah saatnya aku bertemu denganmu di lereng.”

“Apa bayarangan hitam yang lewat saat senja itu?”

“Mereka gagak, Tuanku.”

“Lantas apa yang mereka perbuat di sini?”

Wanita itu bangkit dan melemparkan batu ke burung-burung itu. Lalu duduk dan berkata lagi.

“Para penuai barli mempersempit ladang jagung. Gagak tahu itu.”

“Tetapi hari itu bukankah berakhir dengan kebahagiaan. Tuhan mengembalikan putramu untukmu.”

“Lebih tepatnya, mengabdi kepada Tuhan.”

“Putriku, kasih-Nya sangat besar padamu. Memohonlah dengan baik.”

“Saya tak punya anak, Lalu diberi oleh Tuhan. Dan kini Tuhan telah mengambil anak itu kembali saat berada di ladang panen.”

Dia berhenti, bangkit, dan melemparkan batu lagi ke arah burung gagak.

“Anakku, Tuhan telah memberikan banyak nikmat-Nya.”

“Tuhan pasti lebih bijak daripada kita.”

Lelaki tua bangkit dari batunya. Matanya yang tumpul mencoba membaca wajahnya. Wanita itu menyentuh tangannya.

“Kesinilah dan lihat.”

Sosok pria itu masih berdiri, tiga langkah di belakang mereka, tegak di lereng bukit, seperti ketika Elisa pertama kali berbelok di tikungan dan mendatanginya. Lelaki tua itu mendekat dan mengintip. Secara samar-samar, dan perlahan mulai terlihat. Dia muali menyadari bahwa kepalanya berada di depan dada, dan sadar bahwa rambut di kulit kepala berlumuran darah kering. Kemudian dia tahu bahwa sosok itu sama sekali tidak berdiri atas kemauannya sendiri, tetapi ditopang oleh tiang yang kokoh dengan cincin besi di leher dan tali di pinggang. Dia mengulurkan jari dan menyentuh wajahnya. Dingin sekali.

“Anakmu?”

“Mereka melempari dia dengan batu, dengan batu-batu ini. Istrinya berdiri di dekatnya.”

“Orang Suriah?”

“Orang-orang Suriah itu. Mereka pergi ke utara sebelum tengah hari, membawanya. Dataran itu sangat panas daripada pada hari ketika aku mencarinya ke Carmel.”

“Aku belum pernah mendengar tentang anakmu menikah."

“Itu terjadi sekitar lima tahun lalu. Dia membawa wanita dari sana Palestna.”

“Dia mengkhianatinya?”

“Wanita itu melarikan diri ke atas bukit setelah tak sengaja mendengar percakapan orang Suriah . Mereka berlari dan menyusulnya. Dengan besi ini mereka mengikatnya. Dan dengan batu-batu ini mereka melemparinya dengan batu. Saya berpikir bahwa Tuhan lebih bijak daripada Tuan atau saya.”

Orang tua itu berdiri sambil merenung, dan menyentuh tumpukan batu itu dengan lembut, batu demi batu, dengan ujung tongkatnya.

“Dia lebih bijak.”

Cling... cling... clink!

Wanita itu telah mengambil sebuah batu, dan batu itu ditempanya lemah, tidak berdaya.

Saat matahari terbenam di Carmel, lelaki tua menurunkan tongkatnya dan mengulurkan dua tangan dengan meraba-raba untuk membantu wanita itu.

blog post.jpg