Download Aplikasi Ngedongeng di
Jantungnya terasa berpacu dan berdenyut lebih cepat. Aliran pembuluh darah pada leher dan dahinya seperti mengalir deras. Wanita itu hanya memandang dengan tatapan diam pada teman segerbongnya yang aneh.
Betapa banyak yang telah dia lihat, Doric bertanya pada dirinya sendiri. Dan dia terus berpikir terkait posisi tubuhnya saat ini.
“Kurasa aku kedinginan,” dia memberanikan diri membuka obrolan dengan putus asa.
“Sungguh, maafkan aku,” jawabnya. “Ku berpikir agar kamu mau membuka jendela ini.”
“Saya rasa ini malaria,” tambahnya, giginya sedikit gemetar, karena ketakutan sekaligus ingin meyakinkan wanita itu.
“Aku punya anggur di dalam koper. Kalau kamu mau silakan diambil,” kata wanita itu.
“Tidak, tidak perlu,” dia meyakinkan dengan sungguh-sungguh.
“Apa kamu mendapat penyakit ini di daerah tropis?"
Doric tak terlalu mengenal daerah tropi. Hanya sebatas mengerti tentang hadiah tahunan berupa sekotak teh dari seorang paman di Ceylon. Dia merasa bahwa alasan malaria tak akan menolongnya. Kemudian, dia mulai bertanya-tanya untuk mengungkapkan keadaan yang sesungguhnya.
“Apakah kamu takut pada tikus?”dengan wajah mulai merona, Doric bertanya.
“Tidak, kecuali mereka datang dalam jumlah banyak. Mengapa kamu bertanya demikian?
“Tikus itu baru saja merangkak di dalam pakaianku," kata Doric dengan suara yang hampir tidak terdengar seperti miliknya. “Itu membuatku sedikit canggung”
“Pasti, saat kamu tak berpakaian sama sekali,” katanya. “Tapi tikus punya gagasan lain tentang kenyamanan.”
“Aku telah menyingkirkannya saat kamu tidur tadi,” lanjutnya. Kemudian, sambil menunduk dia menambahkan, “Menyingkirkannya itulah yang membuatku melakukan ini.”
“Tentunya menyingkirkan satu tikus kecil tidak akan membuat seseorang sangat kedinginan,” serunya, dengan kesembronoan yang dilakukan Doric.
Rupanya dia telah mendeteksi sesuatu dari kesulitan yang dialami, dan menikmati kebingungannya. Semua darah di tubuhnya tampaknya telah bergerak dalam satu rona merah yang terkumpul. Serta rasa sakit hati yang membuatnya merasa rendah. Seperti lebih buruk dari banyak sekali tikus, merayap naik turun di atas jiwanya.
Dan kemudian, dia mulai sadar bahwa menit demi menit telah berlalu. Yang membawa laju kereta semakin dekat dengan stasiun yang pastinya ramai. Di mana akan terdapat puluhan mata yang melihat dan mengawasinya dari sudut yang lebih jauh di dalam gerbong.
Ada sebuah peluang kecil yang muncul disaat putus asa melanda. Teman wanita dalam gerbong itu mungkin akan kembali tertidur lelap. Tapi saat waktu kian berjalan, peluang itu surut. Pandangan sembunyi-sembunyi yang dicuri Doric padanya dari waktu ke waktu hanya mengungkapkan kesadaran yang tidak berkedip.
“Kurasa kita pasti sudah dekat sekarang,” dia mengamati.
Doric menganggap perkataan itu teror. Gara-gara tumpukan jerami di kandang kuda menjadikan perjalananya begitu buruk. Kata-kata itu bertindak sebagai sinyal. Seperti binatang buruan yang menghancurkan kerangkeng dan berlari dengan liar ke tempat perlindungan lain untuk sementara.
Akhirnya dia memberanikan diri, membuang permadani, dan dengan panik mengambil pakaian dan mengenakannya dengan acak-acakan.
Dia sadar stasiun sudah makin dekat. Dia merasakan sebuah sensasi yang seakan-akan mencekik di tenggorokan dan jantungnya. Serta keheningan sedingin es di sudut yang tidak berani dia lihat. Kemudian setelah mengambil semua pakaiannya, ia merosot ke bawah kursinya, untuk berpakaian. Kereta kian melambat hingga sampai benar-benar berhenti. Kemudian wanita itu berbicara.
“Maukah kamu berbaik hati,” tanyanya, “Tolong bawakan koperku menuju taksi. Mohon maaf merepotkanmu saat kamu merasa tidak enak badan. Tapi kebutaan membuat seseorang benar-benar tak berdaya di stasiun kereta.”